Kamis, 20 Januari 2011

Agroforestri, Mungkinkah Mengatasi Permasalahan Sosial dan Lingkungan?

Agroforestri, Mungkinkah Mengatasi Permasalahan Sosial dan Lingkungan?


Oleh : Budiadi

Agroforestry adalah teknik pertanaman yang memadukan tanaman kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian (palawija), peternakan atau perikanan pada di dalam atau di luar kawasan hutan. Pola tanam agroforestry sudah dipraktekkan oleh manusia di muka bumi ini sejak jaman dahulu kala, tetapi ilmu agroforestry sendiri baru berkembang sejak tiga dekade yang lalu. Pola tanam agroforestry pada dasarnya dipraktekkan untuk satu tujuan yakni efisiensi penggunaan lahan, artinya dari sebidang lahan bisa dihasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi. Pola tanam agroforestry dipraktekkan secara luas dalam rangka rehabilitasi hutan dengan melibatkan petani miskin dan lapar lahan (land-less farmer) di sekitar hutan.

Masalah sosial-ekonomi pada pembangunan hutan

Peluso (1992) membuka wacana kemiskinan di sekitar hutan (jati di Pulau Jawa) dengan buku indah dengan judul `provokatif` yakni: rich forest poor people. Ia menyajikan data dan analisis sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, ketika hutan dan pihak kehutanan masih cukup membantu (bukan memanfaatkan) petani. Pada tahun 70-an, petani berhak atas bermacam-macam insentif (berupa uang, beras dan/atau hewan ternak) jika mau mengambil posisi sebagai pesanggem, yakni menggarap tanah di hutan, mananam tanaman kehutanan dan memiliki hak atas tanaman pertanian yang ditanam olehnya.

Akan tetapi, kondisi pembangunan hutan sudah berubah. Hutan pada saat ini sudah miskin (baca: gundul), setelah terjadi banyak kasus gagal tanam. Kegagalan tanam adalah masalah kompleks yang sangat sulit ditelusur akar masalahnya: bisa ekologis, sosio-ekonomis atau politis, bahkan mismanagement dan misinterpretation. Akibatnya jelas, tiap musim penghujan datang bencana banjir dan tanah longsor menjadi momok bagi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sekitar hutan (petani) tetap dan semakin miskin. Pun petani yang terlibat dalam pembangunan hutan. Bagaimana mungkin menyejahterakan petani sekitar hutan, sementara pegawai kehutanan yang tingkat rendah pada saat ini juga dililit kemiskinan. Pada jaman dulu, pegawai tingkat rendahan pun punya akses terhadap hasil hutan, yang bisa menghasilkan tambahan pendapatan di luar gajinya. Namun pada saat ini, semua sudah berubah. Hutan sudah sangat miskin, pegawai kehutanan (sekali lagi yang tingkat rendahan) juga miskin, dan petani sekitar hutan semakin miskin. Jadilah diskursus: rich forest, poor people berubah menjadi poor forest for the poorest people.

Petani juga selalu menilai posisi hutan secara fisik dan jangka pendek. Ini tidak lepas dari urusan subsistensi. Padahal fungsi lain hutan yang `non-fisik` dan jangka panjang lebih utama, misalnya pengatur tata air, udara dan iklim global. Dalam jangka panjang hutan juga mampu mendukung kehidupan masyarakat sekitar hutan dan dunia di luar hutan, melalui peran hutan dalam pemeliharaan lingkungan dan mitigasi kerusakan iklim global. Akankah petani yang miskin dan kurang berpendidikan kita ajak berpikir panjang dan global?

Jadi, bagaimana mau mencetak kesejahteraan dari hutan dan bagaimana mau merawat lingkungan, jika hutan sudah tidak mampu untuk itu. Hutan sudah tidak mampu mendukung kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Hal ini ditambah dengan adanya wacana bahwa tidak mungkin mencetak petani yang makmur atau kaya jika hanya mengandalkan bertani di hutan. Untuk kasus hutan jati di Jawa, posisi tawar (bargaining position) petani sekitar hutan telah menurun seiring dengan: luas tanah pertanian yang menurun secara drastis, luas garapan di hutan yang terbatas (karena harus berbagi dengan yang lain), dan usaha di luar hutan yang tidak menjanjikan.

Agroforestry sebagai jalan tengah

Pada era 80-an, pemerintah Indonesia mengkampanyekan istilah "memanfaatkan setiap jengkal tanah untuk meningkatkan kesejahteraan". Kemudian pada era 90-an, muncul teknologi "pertanian vertikal" yang memanfaatkan setiap lapisan ruang di atas dan di bawah permukaan tanah untuk menghasilkan produk pertanian. Kedua terminologi teknis tersebut menunjukkan bahwa lahan untuk pertanian semakin sempit dan rata-rata kepemilikan lahan per kapita semakin menurun, terutama di Pulau Jawa. Bahkan, sejak tahun 60-an telah ditengarai adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan tanah pertanian dengan pertumbuhan penduduk di pulau Jawa (Simon 1999). Di samping itu, daya dukung tanah juga semakin melemah, karena kualitas lahan yang semakin menurun yang disebabkan oleh pengikisan lapisan subur pada pemukaan tanah (erosi, sedimentasi dan run-off) pada tanah-tanah yang dikelola secara intensif.

Agroforestry pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang `berlapis-lapis` untuk meningkatkan produktivitas lahan. Ambil contoh berikut ini. Pada sebidang tanah, seorang petani menanam sengon (Paraserianthes falcataria) yang memiliki tajuk (canopy) yang tinggi dan luas. Di bawahnya, sang petani menanam tanaman kopi (Coffea spp) yang memang memerlukan naungan untuk berproduksi. Lapisan terbawah di dekat permukaan tanah dimanfaatkan untuk menanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis) yang toleran/tahan terhadap naungan. Bisa dimengerti bahwa dengan menggunakan pola tanam agroforestry ini, dari sebidang lahan bisa dihasilkan beberapa komoditas yang bernilai ekonomi. Akan tetapi sebenarnya pola tanam agroforestry sendiri tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zar hara (nutrient) di lapisan tanah yang dalam, kemudian ditransfer ke permukaan tanah melalui luruhnya biomasa. Mekanisme ini juga mampu memelihara produktivitas tanaman yang berumur pendek, seperti palawija. Mekanisme alami ini menyerupai ekosistem hutan alam, yakni tanpa input dari luar, ekosistem mampu memelihara kelestarian produksi dalam jangka panjang. Pola tanam agroforestry yang dianggap paling mendekati struktur hutan alam adalah pekarangan atau kebun. Pada pekarangan/kebun, tanaman-tanaman tumbuh secara acak sehingga menciptakan struktur tajuk dan perakaran yang berlapis. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan produktivitas dan pemeliharaan lingkungan.

Pola pertanaman yang diterapkan pada hutan jati di Jawa adalah tumpangsari, yang merupakan salah satu pola agroforestry. Tumpangsari di hutan jati di Jawa pada dasarnya sama dengan perladangan berpindah, dalam hal: memanfaatkan pembukaan hutan baru yang tanahnya masih subur. Sehingga tumpangsari sering disebut sebagai an improved shifting cultivation (Nair 1993). Prinsipnya tumpangsari yang konvensional hanya dilaksanakan selama tanah masih subur (dan sinar matahari masih cukup untuk palawija), sekitar 2-3 tahun pertama. Jika tidak ada input pemupukan oleh petani maka tumpangsari sudah dilakukan selama lebih dari 3 tahun dipastikan menghasilkan produktivitas yang rendah.

Pada dasarnya pola tanam agroforestry dapat dipisahkan menjadi dua yakni agroforesrty di dalam dan di luar kawasan hutan. Akhir-akhir ini berkembang wacana bahwa pertanaman kayu di luar kawasan hutan lebih menjanjikan daripada yang di dalam kawasan hutan. Sebagai misal, bahan baku industri ukir Jepara pada saat ini sebagian besar disuplai oleh kayu jati yang dihasilkan dari hutan rakyat di Gunung Kidul, dan bukan dari hutan jati. Gejala ini menunjukkan bahwa potensi dan kualitas hutan menurun setiap waktu, karena kurangnya rasa memiliki hutan sebagai penyangga lingkungan.

Lebih lanjut, pola tanam agroforestry di dalam kawasan hutan dapat dibedakan menjadi pertanaman yang menghasilkan non-timber forest product (NTFP) dan timber forest product. Pertanaman NTFP misalnya hutan kayu putih di Jawa atau eksploitasi damar mata kucing di Sumatra Selatan. Secara umum pertanaman agroforestry yang menghasilkan NTFP relatif lebih lestari daripada pertanaman yang memproduksi kayu. Pada kawasan yang memproduksi NTFP, komponen utama berupa tanaman kayu tidak dipanen, sehingga fungsinya sebagai hutan tetap terjaga.

Tantangan

Permasalahan yang perlu menjadi perhatian adalah adanya kesenjangan antara pola tanam agroforestry yang dilakukan masyarakat petani dengan konsep dan kemajuan penelitian tentang agroforestry. Petani masih berkutat dengan kemiskinan dan memenuhi urusan perut, sementara peneliti agroforestry berbicara tentang CO2 flux. Kalangan peneliti berharap besar pada agroforestry sebagai pola tanam yang mampu menyelamatkan lingkungan. Atau lebih sederhana, petani berbicara masalah mempertahankan hidup, peneliti berbicara kelestarian lingkungan global. Teknologi agroforestry mestinya sudah dipraktekkan secara modern tanpa meninggalkan fungsinya sebagai pendukung ketahanan masyarakat miskin.

Referensi

[1] Nair PKR (1993) An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academis Publishers. The Netherlands, 499 pp

[2] Peluso NL (1992) Rich forest, poor people: resource control and resistance in Java. University of California Press, Ltd., California, 321 pp

[3] Simon H (1999) Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. BIGRAF Publishing, Yogyakarta, Indonesia

Sumber :
Budiadi, Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. karyasiswa di Kobe UniversityInovasi Online
ISSN : 0917-8376 | Edisi Vol.3/XVII/Maret 2005
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=70

Sumber Gambar:
http://www.ecologyandsociety.org/vol5/iss2/art21/figure4.gif

Minggu, 21 November 2010

HAM 221110

konstitusi tu sama2 hukum dasar, hukum dasar itu ad dua,
1.tertulis: undang2 dasar,
2.tidak tertulìs: konvensi,

undang2 itu g sma dngn uud, uud itu sama dgn knstitusi, bedana krena ad yg trtulis n yg tdak tertulis!

uud adalah aturan2 dasar negara yg termasuk didalamnya pembukaan dan batang tubuhnya
oleh karena itu negara kita merupakan negara yg djalankan oleh undang2!
perluasan dari undang2 n yg mnjdi turunanna disebut n diatur dalam h. adm

Sabtu, 20 November 2010

terserah dah,,,,gw bingung,,,dilematis,,,

assalamualaikum,,,

gw bakalan nulis perasaaan gw tentang temen2 gw, mudah2an ad yg baca n bikin yang baca sadar,,,,

sumpah gw dilema banget sama kepemimpinan gw, kayaknya gw udh ga guna, tau begini ngapain mereka milih gw pas pemilihan kemarin, gimana ga, gue selalu nyoba ngasih yang terbaik buat mereka(menurut gw), gue selalu ngeluangin waktu fikiran gw buat mereka, tapi apa balesan mereka, dari mulai masalah temen gw yg ga bisa ngenyam kursi kuliah, gw selalu muter otak n ngebujuk mereka untuk bisa lebih maju kedepan, tapi apa balesan mereka buat gw??? ngabarin gw aj ga pernah, gue slalu ngluangin bahkan ngasih waktu liburan gw buat nurutin kemauan beberapa orang dari merekauntuk kumpul!!! tapi apa??? yang ngumpul pasti kurang dari 50% atau pas segitu dari jumlah mereka, dengan berbagai alasan yang dibuat2 dan tetek bengek yg bikin nyesek dada kalo ngedenger, gw selalu ngasih tau mereka ini itu, tapi apa, masuk kiri keluar kanan, cuma jadi bahan tertawaan doang!!! yang ada malahan gw yg diceramahin, dibilang gw nya jg kudu introspeksi lah, gw na kudu lebih bnyak belajarlah, gw kudu sedikit membuka mata menerima perubahan lah,,,

jujur gue bilang, kalo bukan karena gw banyak utang budi sama sekolah juga gw cinta banget sama sekolah, gw gamau capek2an ngurusin kalian, gw tuh sayang sama kalian bukan sayang yang biasa, gw sayang sama generasi indonesia yang mau ngebangun bangsa, gw sayang sama orang2 yg udh punya bekal akhlak yang baik, gw sayang sama orang yg bikin gw kayak gini, gw tuh pengen ngejaga kalian dalam konsep ukhuwah, coba kalian pikir waktu liburan gw yg sebulan cuma seminggu gw drmah, pastinya disitu abis ga cuma waktu, banyak bgt yg gw kobanin tapi gw ga pernah ngeluh, gw ga pernah ngomelin kalian, coba sedikit ngertiin gw laah,,,klo emang ada yg kurang beressama gwya ngomong k gw langsung,n kalo emang yg gw omongin itu emang bener toong realisasi nya, jangan cuma pada bisa ngomong di belakang,,,